Dulu ia dipanggil sebagai Sukarnah. Nama gadis Ciamis ini pernah pernah
sangat terkenal pada tahun 1958, ketika menjadi satu-satunya atlet
(puteri) tanah air yang menerima medali pada perhelatan Asian Games di
Tokyo. Kepulangannya ke tanah air pada saat itu dielu-elukan bak
kehadiran pahlawaan dari medan perang.
Kenangnya seperti ditulis di laman
Kick Andy,
"Pada saat menerima tim atlet Indonesia, Bung Karno menepuk pundak saya
dan mengatakan saya sudah berjasa bagi bangsa dan Negara." Pujian dari
kepala Negara itu sudah cukup berarti bagi Sukarnah. "Saya bangga sekali
waktu itu. Saya tidak mikir untuk mendapatkan penghargaan macam-macam.
Saya membela Indonesia dengan semangat nasionalisme," dia menegaskan.
Bagaimana kisah Sukarnah yang sekarang berubah nama menjadi Iwan Setiawan? Sebuah tulisan pada laman
blog Kampungku
yang dipublikasi oleh Kang Uyun, seorang blogger dari rancah Ciamis,
mungkin akan mengingatkan kembali perjalanan hidup yang unik tapi nyata
ini.
Nama Sukarnah kembali populer saat Menpora Adhyaksa Dault membagikan 44
rumah seharga Rp100 juta kepada atlet dan mantan atlet berprestasi.
Mengapa Sukarnah berubah menjadi laki-laki dan berganti nama Iwan
Setiawan?
DUA foto Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, tergantung di atas pintu
sebuah rumah di Dusun Noong, Desa Sukahurip, Kecamata Cisaga, Kabupaten
Ciamis.
Meski foto itu agak lusuh dimakan usia, ketampanan wajah Soekarno yang
konon selalu memikat wanita itu seolah menjadi satu-satunya pemandangan
menarik di rumah yang dindingnya sebagian batu bata dan anyaman bambu
tersebut.
Beberapa bagian dinding rumah yang terbuat dari batu bata retak di
sana-sini. Pun demikian bagian dinding yang terbuat dari anyaman bambu,
banyak berlubang. Tidak ada barang berharga di rumah tersebut. Ada
televisi hitam putih keluaran 1980-an, namun sudah tidak bisa lagi
digunakan untuk menyaksikan sinetron yang kini kian marak.
Deretan kandang ayam dari bambu yang berada di sebelah timur rumah
tampak reot. Kandang kira-kira mampu menampung 50-an ekor ayam. Namun,
hanya satu yang betina hitam yang tersisa di salah satu sudutnya.
Merebaknya flu burung membuat sang pemilik menjual ayam-ayamnya.
Adalah Iwan Setiawan (67) yang menghuni rumah tersebut. Di bangunan yang
memiliki dua kamar tidur, ruang tamu, dan dapur tersebut, dia
menghabiskan sisa hidupnya ditemani istri tercinta, Tuti Pudji Astuti,
beserta putra dan menantunya.
Seperti halnya Soekarno yang selalu tampak gagah dalam bingkai foto di
rumahnya, Iwan tidak pernah mengeluh dengan kehidupannya yang serba
kekurangan. Padahal, dia adalah salah satu atlet terbaik yang dimiliki
Indonesia.
Pada tahun 1958 dia berhasil meraih medali perunggu Asian Games III di
Tokyo dari nomor lempar lembing dengan lemparan sejauh 45,3 meter.
"Prestasi itu saya rebut ketika masih menjadi wanita dan bernama
Sukarnah. Secara ajaib saya berubah menjadi laki-laki pada akhir 1980,"
kenang Iwan.
Karnah, demikian nama lahir Iwan, merupakan sulung dari tujuh bersaudara
pasangan Sukarta dengan Mury. Dia dilahirkan 1 Februari 1940 di daerah
Rancah yang berdekatan dengan tempat tinggalnya saat ini.
Karnah beruntung karena orang tuanya petani yang cukup berada. Ketika
usianya sembilan tahun, dia bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) Pagambiran
di Cisaga. Karnah menjadi ”orang langka” karena bisa melanjutkan ke SGB
(Sekolah Guru B) II Ciamis. Saat itu sangat sedikit gadis kampung yang
bisa melanjutkan sekolah setelah SR.
"Saya termasuk gadis yang enerjik. Saya bisa hampir semua cabang
olahraga, mulai bola keranjang, kasti, sampai pancalomba (atletik),"
kisah Iwan.
Tidak sebatas hobi, dia pun mampu menjadi juara di kejuaraan tingkat
Provinsi Jawa Barat (Jabar) pada tahun 1956 di Garut. Sukses itu
membuatnya masuk skuad Jabar dalam PON IV 1957 di Makassar.
Letnan Evo, pejabat Pengda PASI Jabar kala itu, menarik Karnah untuk
masuk pemusatan latihan daerah. Dia pun sukses memborong gelar di nomor
pancalomba yang mencakup lari 100 meter, lompat jauh, lompat tinggi,
lempar lembing, dan lempar cakram di PON IV.
Karnah jadi terkenal di Bandung. Ketika lulus tahun 1958, seorang
pengusaha batik asal Bandung bernama Sukarna Saputra mengangkat Karnah
sebagai anak asuh. Karnah kemudian diboyong ke Bandung untuk melanjutkan
sekolah di SGPD (Sekolah Guru Pendidikan jasmani). Nama Karnah diganti
mirip bapak asuhnya, Sukarnah.
Pergantian nama itu menandai babak baru kehidupannya. Setelah menjadi
juara PON, Sukarnah diorbitkan ke ajang internasional. Dia mulai
tergabung dalam program pemusatan latihan nasional (pelatnas) di
Jakarta.
Johans Edward Willem (JEW) Gosal, pelari pria 100 m, adalah salah satu
rekan pelatnas Sukarnah. Gosal saat ini masih aktif sebagai pengurus
KONI Pusat. "Saya dulu berlatih di Lapangan Banteng, menginap di rumah
Letkol Irwadi yang berada di depannya. Kini rumah tersebut menjadi Hotel
Borobudur," papar Iwan.
Bergabung pelatnas, kemampuan Sukarnah makin terasah. Dia berhasil
membukukan rekor nasional lempar lembing baru sejauh 37,6 m. Atau, lebih
baik dari rekor sebelumnya atas nama Ny. Saleh Harusman yang membukukan
lemparan 31 m.
Sukarnah pun lolos seleksi untuk masuk tim Asian Games 1958. Dari
sekitar 100 atlet yang dikirim, hanya dua dari cabang atletik. Sukarnah
dan Kopral Marijo yang tampil di nomor lari 100 meter pria. Marijo hanya
mampu menduduki peringkat kelima, sementara Sukarnah berhasil merebut
medali perunggu.
"Saya mendapat sambutan luar biasa ketika kembali ke tanah air. Disambut
Pak Karno beserta menteri dan para tokoh seperti Pak Soebandrio dan Pak
Nasution. Pak Karno menginstruksikan pada gubernur Jawa Barat untuk
memberi saya rumah," kenang Iwan.
Perunggu Asian Games IV ternyata menjadi puncak karir Sukarnah. Setelah
itu dia sering sakit rematik. Dia lebih memfokuskan energinya untuk
menyelesaikan sekolahnya di SGPD. Pada 1962 dia melanjutkan sekolahnya
di Fakultas Sosial IKIP Bandung. Dia pun menikah dengan seorang pria
Bandung bernama Karya Natasasmita.
Di IKIP, dia terpilih sebagai ketua bidang Hubungan Masyarakat (Humas)
Dewan Mahasiswa (Dema). Sikapnya yang mengidolakan Soekarno mendorongnya
menjadi orator yang cukup ulung. Karena itu, dia diposisikan sebagai
Humas.
Saking cintanya pada Soekarno, Surkanah bergabung dalam barisan
pendukung Soekarno. Aktivitas inilah yang kemudian membuat kehidupan
Surkanah penuh nestapa.
Ketika Soekarno jatuh yang diikuti penumpasan terhadap Partai Komunis
Indonesia (PKI) pasca G30 S/PKI, Surkanah ikut kena getahnya. Dia
menjadi korban perubahan besar politik dan disebut-sebut antek PKI.
"Semua penghargaan dan sertifikat saya ikut terbakar ketika rumah bapak
saya di Bandung dibakar orang tahun 1966. Tak banyak yang saya bisa
selamatkan," tutur Iwan.
Hanya beberapa barang yang selamat. Antara lain lembing yang dipakainya
di Tokyo, Jepang, pada 1958 dan dua foto Soekarno yang saat ini menempel
di dinding rumahnya.
Sukarnah juga sempat dipenjara di Kebonwaru, Bandung, tahun 1965. Di
sana ia memutuskan bercerai dengan Karya Natasasmita. "Saya tidak ingin
dia terlibat. Dulu, yang berkuasa adalah telunjuk. Orang mudah menyebar
fitnah sebagai anggota PKI. Karena itu, saya memilih cerai," kisahnya.
Pada 1966 Surkanah kembali menghirup udara bebas. Dia menjalani hidup
secara normal. Selain sempat menjadi guru di SMA Negeri 3 Bandung, ia
sempat bekerja sebagai salah satu pengajar di Sekolah Pertanian Menengah
Atas (SPMA) Bandung.
Namun, gerakan Malari kembali menyeretnya ke balik terali besi. Ketika
meletus peristiwa Malari 1974, dia kembali ditangkap. "Kami, pengikut
Soekarno, banyak yang ikut protes. Saya pun akhirnya kembali dijebloskan
ke tahanan sampai tahun 1978," lanjutnya.
Selepas dari penjara, Sukarnah kembali menikah dengan pria asal
Rengasdengklok, Ganda Atmadja. Namun, perkawinan itu hanya bertahan
selama dua tahun. Kala Sukarnah berubah menjadi pria tahun 1980, Ganda
pun menceraikan Iwan.
"Peristiwa itu terjadi saat saya berziarah ke makam Bung Karno di Blitar
pada 1979. Bersama rekan saya, Fatimah, saya bermalam di sana. Nah saya
mimpi bertemu Bung Karno. Dia memberikan saya uang lima rupiah untuk
beli obat," paparnya.
Dalam mimpinya, ia akan ke apotek. Tapi, dia malah kesasar ke sebuah
gunung. Di sana, ia kembali bertemu Soekarno. "Soekarno bersama seorang
wanita yang katanya adalah calon istri saya sekarang ini," tambahnya.
Setelah mimpi itu, Sukarnah mengaku mengalami perubahan pada fisiknya.
Lambat laun, kedua payudaranya mengempis. Begitu juga dengan alat
vitalnya, berubah bentuk seperti yang dimiliki laki-laki. "Ayah saya
sempat nangis. Soalnya, sejak kecil saya adalah seorang wanita dengan
nama Karnah," tandasnya. Sejak saat itulah Sukarnah berubah nama menjadi
Iwan Setiawan. Nama itu dia ambil dari salah satu guru favoritnya di
SGPD.
Pada 1980, Iwan bertemu dengan Tuti Pudji Astuti, wanita yang ditemuinya
saat bermimpi di makam Bung Karno. Wanita itu meminta izin bermalam di
rumah Iwan. Setelah beberapa hari menginap, Tuti memberikan secarik
kertas kepada Iwan yang berisi penyataan cintanya.
Menurut Tuti, dirinya bermimpi yang sama dengan Iwan. Ia bertemu
Soekarno. "Bahkan, kakak saya juga bermimpi kalau saya akan menikah
dengan bekas wanita," tukas Tuti yang berusia sepuluh tahun lebih muda.
Setahun setelah pertemuan, Iwan dan Tuti menikah. Pasangan itu dikarunai
seorang anak bernama Ebiet Hilman setelah enam tahun menikah. Setahun
lalu, Ebiet Hilman menikah dengan Sri Esti.
Perjalanan Iwan memang sulit diterima logika. Namun, apa pun dia adalah
salah satu atlet nasional yang terlupakan. Sudah sepantasnya dia
mendapat penghormatan seperti rekan-rekannya yang sebagian besar kini
mantap sebagai pejabat organisasi olahraga maupun pemerintahan.
"Beliau (Iwan, Red) adalah korban politik. Kita tetap harus
menghormatinya sebagai salah satu peletak dasar olahraga tanah air,"
kata Adhyaksa Dault ketika memberikan rumah pada Iwan dalam bentuk uang
tunai. (*)
sumber
<<= Novel " Hilangnya Cinta Sejati " Oleh Danial Bab I