Dibalik Letusan Dahsyat Krakatau 416 M, 1883, 1983

sumber gbr :http://www.volcanodiscovery.com

Ada sebuah pertanyaan yang datang dari pembaca Dongeng Geologi. Apakah di bumi ini masih ada kemungkinan gunung meletus sekuat letusan Tambora atau Krakatau ? Ataukah bumi sudah mendingin sehingga letusan besar sudah tidak akan terjadi lagi ?
Logikanya sih sepertinya OK saja, karena memang bumi ini mendingin sejak terbentuknya dulu, sehingga “mungkin” letusan besar tidak akan terjadi “lagi”. Hmm tetapi spekulasi seperti ini juga berbahaya. Mari kita dengar pendapat ahli geologi yang lain.

Apa komentar ahli kebumian Indonesia ?
Pak Yatno salah satu dosen dari ITB mengatakan ” Letusan sebesar Krakatau ataupun Tambora masih sangat mungkin terjadi. Letusan besar seperti itu tidak ada kaitannya dengan suhu bumi yang mendingin. Letusan katastropis (ultra Plinian) berhubungan dengan akumulasi tekanan yang salah satu faktornya adalah komposisi magma yang semakin asam sehingga mengental dan menyumbat lubang kepundan.”

Pak Hill Gendoet di forum IAGI-net menambahkan “Setuju dengan pendapat pak Yatno…selain itu juga perlu diperhatikan durasi lama hidup dan waktu istirahat gunung apinya…disini waktu istirahat g.api berhubungan dengan pengumpulan energi atau pengakumulasian faktor-faktor energi dalam usahanya untuk membongkar penutup kawah bahkan bodi kerucut bagian atas g.apinya. Waktu istirahat bisa mencapai ratusan tahun bahkan ribuan tahun (Ferari, 1995)…. tampaknya waktu istirahat panjang tersebut bukan umur kita, namun secara statistik apa ada gunung api di Indonesia yang sdh beristirahat selama itu (?), nah itu yang perlu kita cari atau tanyakan ke mas Igan dan Zen…..he he..ke pak Surono langsung ya. Durasi itu kemungkinan juga berujung kepada perilaku magma yang selalu menjadi lebih asam (Bowen series).

“Whaduh, kok menakutkan ya Pakdhe?” “Thole yang lebih menaktukan itu kalau kita tidak tahu. Dengan mengetahui kita lebih

waspada, dan itulah pentingnya pengetahuan”.
Pak Awang yang tiap hari berkutet dan belepotan minyak juga memberikan pandangan ini secara terinci dibawah ini.
Bumi memang mendingin secara gradual, tetapi sampai sekarang pun, dari bukti-bukti pengukuran GPS, lempeng-lempeng masih bergerak. Artinya adalah bahwa meskipun Bumi semakin mendingin, ia masih cukup panas untuk mempunyai sirkulasi material di mantel dan inti luarnya. Implikasi ini adalah bahwa bencana yang berhubungan dengan gerak lempeng seperti gempa dan letusan gunungapi masih bisa terjadi, termasuk yang katastrofik seperti erupsi Krakatau atau Tambora.

Khusus Krakatau, kita cek saja geologi dan sejarah letusan atau penelitian yang pernah dilakukan di sini, sejak zaman Verbeek (1885), dua tahun setelah letusan katastrofiknya (1883) sampai penelitian2 para ahli gunungapi Indonesia seperti Pak Tikno Bronto, Pak Yatno, Pak Gendoet, Pak Igan, dan yang lainnya. Kita juga harus melihat situasi tektonik tempat gunungapi itu muncul.

Berdasarkan rekonstruksi terbaru (misalnya dari Robert Hall, 1995-2003), Selat Sunda tempat Krakatau muncul, belum ada sebelum 10 juta tahun yang lalu. Selat ini berkembang dalam 10 juta tahun terakhir. Sebelumnya, Jawa masih terikat dengan Sumatra dalam arah yang mirip Sumatra yaitu BL-Tenggara. Kalau Jawa sekarang arahnya B-T, itu karena lepas dari Sumatra dalam 10 juta tahun terakhir kemudian terputar melawan arah jarum jam. Perpisahan Jawa-Sumatra ini membuka Selat Sunda, sehingga tidak mengherankan mengapa Selat Sunda menyempit di timurlaut dan melebar ke arah baratdaya, ini adalah efek rotasi anti-clockwise dengan titik rotasi (pivot point) di sebelah timurlaut. Yang menyebabkan Jawa terpisah dari Sumatra adalah majunya Australia ke arah utara di ujung Busur Banda. Apakah rekonstrksi ini benar ? Mungkin benar, seperti dibuktikan oleh pengukuran radiometric dan paleomagnetik beberapa batuan Paleogen-Neogen di Jawa yang dilakukan oleh Ngkoimani et al. (2006) yang menyimpulkan bahwa separuh Jawa bagian timur dulunya berlokasi lebih selatan daripada posisinya sekarang .Munculnya gunung-gunung api yang saat ini aktif rata-rata terbentuk sekitar 1-2 juta tahun lalu. Dan masih aktif hingga sekarang.

Sebuah rotasi Jawa yang anticlockwise dan Sumatra yang juga terputar clockwise (Barber et al., 2005) akan mengharuskan sistem retakan di Selatan Sunda sebagai retakan berorientasi BD-TL. Dan, sistem retakan ini telah dijadikan jalur lemah munculnya rentetan gunungapi di Selat Sunda dari Sebesi di selatan, Sebuku di tengah sampai Raja Bassa di utara. Gunung Peucang dan intrusi linear dykes di sepanjang pantai timur Pulau Panaitan harus dipandang sebagai bagian jalur ini. Dan, adalah Verbeek (1885) yang pertama kali menyebutkan bahwa Krakatau sebenarnya terletak di titik perpotongan dua jalur : jalur Sumatra yang BL-Tenggara dan jalur Selat Sunda yang BD-TL. Verbeek juga menulis dalam laporannya bahwa aktivitas panjang Krakatau disebabkan lokasinya yang merupakan focus injeksi magma, yang juga mempengaruhi bentuk dapur magmanya. Karena posisi tektonik Krakatau tidak berubah dalam 10 juta tahun terakhir ini, maka aktivitas erupsi yang sama yang pernah terjadi pada 1883 dan sebelumnya tak mungkin tak terjadi lagi. Hanya tingkat letusannya yang harus kita cermati.

Bila ditelusuri riwayatnya, seperti banyak gunungapi lainnya, Krakatau punya sejarah panjang periode dormant (istirahat) dan erupsinya. Suatu siklus besar dalam kehidupan gunungapi bermula dengan tumbuhnya kerucut permukaan dan berakhir dengan keruntuhan sebagian puncak ini membentuk kaldera. Krakatau telah mengalamai dua siklus besar jenis ini.

Siklus pertama Krakatau dimulai pada masa pra-sejarah, dan mungkin berakhir pada abad ke-5 Masehi. Selama siklus ini, sebuah kerucut andesitic terbangun sampai ketinggian sekitar 2000 meter -ini tentu disimpulkan dari rekonstruksi berdasarkan shattered remains-nya -sisa-sisa hancurannya. Ketinggian ini lebih dari dua kali ketinggian Anak Krakatau sekarang. Diameter kerucut ini sekitar 15 km di dasarnya, sekitar setengah ukuran Gunungapi Merapi di utara Yogyakarta. Kaldera selebar 10 km mengakhiri daur ini dan menyisakan bekas2nya berupa empat pulau : Verlaten (Sertung), Krakatau (Rakata), Lang (Rakata Kecil) dan Police Hat.

Uniknya adalah bahwa seorang peneliti bernama Judd (1888) menghubungkan berakhirnya siklus pertama Krakatau ini dengan “Pustaka Raja” sebuah buku berbahasa Jawa kuno yang menceritakan sebuah letusan dahsyat di sebelah barat Jawa. Terjemahan uraian dalam Pustaka Raja adalah “Dalam tahun 338 Syaka (416 M) sebuah bunyi Guntur terdengar dari pegunungan Batuwara (sekarang disebut Pulosari di utara Banten), yang kemudian dijawab oleh bunyi Guntur yang yang sama berasal dari gunung Kapi (Krakatau ?), yang terletak di sebelah barat Banten. Api besar yang menyala mencapai langit keluar dari Kapi, disertai oleh hujan badai. Suaranya begitu menakutkan, dan akhirnya gunung Kapi dengan raungan dahsyat hancur berkeping-keping.” (ditulis ulang dari Simkin dan Fiske, 1983).

Siklus kedua Krakatau dimulai ketika sebuah kerucut basalt yang kaya olivine muncul di tepi tenggara kaldera siklus pertama. Tinggi Krakatau saat itu 800 meter. Kemudian letusan-letusan berikutnya telah bergeser mengikuti jalur utara-baratlaut membentuk kerucut-kerucut Danan dan Perboewatan yang terbuat dari material andesitic kaya hipersten. Laporan-laporan dari pelayaran di Selat Sunda menyebutkan bahwa Perboewatan muncul pada 1680 dengan ketinggian yang lebih rendah dari Krakatau. Seperti juga terjadi di kaldera Tengger saat ini, maka gunung-gunung di dalam kaldera akan semakin kecil semakin muda, dan yang paling kecil berlokasi di titik geseran paling ujung.

Siklus kedua ini berakhir pada hari Senin 27 Agustus 1883 pukul 10.00 (Simon Winchester, 2000)dalam sebuah letusan paroxysmal yang terkenal itu, yang juga melenyapkan Perboewatan, Danan, dan setengah badan sebelah utara Krakatau. Saat itu langsung terbentuk kaldera sedalam 300 meter yang berisi air laut. Pengukuran hidrografik setelah masa letusan berakhir menunjukkan bahwa kaldera siklus kedua ini hampir sama dimensinya dengan kaldera siklus pertama, tetapi ia memanjang agak ke selatan baratdaya, menunjukkan runtuhan dapur magma mengikuti struktur regionalnya.

Siklus ketiga bermula ketika Anak Krakatau (Krakatau yang kita kenal sekarang) muncul pada suatu pagi pada tahun 1927 (van Bemmelen, 1949). Sang Anak tumbuh dengan cepat, jauh melebihi kecepatan pertumbuhan makhluk hidup mana pun, yaitu sekitar 5 meter per tahun (Willumsen, 1997). Anak Krakatau saat ini dibangun oleh material basaltic. Kapan siklus ketiga ini akan berakhir, mengikuti sejarah ayah dan kakeknya, maka ia akan meletus hebat ketika material magmanya sudah menjadi asam. Mungkin letusannya tak akan sehebat tahun 416 atau 1883, tetapi dengan makin padatnya penduduk sekitar pantai Banten dan Lampung; maka jumlah korban potensial bisa lebih besar daripada letusan 416 dan 1883.

Penelitian para ahli gunungapi Belanda van Bemmelen (1949), Verbeek (1885) dan G.A. de Neve (1981) – de Neve adalah kawan senior saya sesama pemburu buku loakan di Cihapit Bandung 1977-1980 -ternyata saya juga akhirnya jadi seorang geologist seperti de Neve, saat itu saya anak SMP yang haus buku tetapi tak punya uang sehingga bisanya hanya membeli di loakan sedangkan de Neve adalah seorang gurubesar geologi…hm sedikit nostalgia-berhasil merekonstruksi kimia magma semua siklus dormant dan erupsi Krakatau. Mereka menyimpulkan bahwa Kompleks Krakatau selalu mulai dengan magma basalt, maju ke andesite, dan meletus hebat secara paroxysmal ketika magmanya menjadi asam (riolitik). Menurut rekonstruksi mereka (dikompilasi dengan sangat baik oleh Willumsen, 1997), letusan hebat Kakek Krakatau pada 416 M (?) terjadi saat komposisi magma riolitik mencapai Kadar SiO2 70 %, begitu juga dengan erupsi Krakatau 1883 yang meletus hebat saat komposisi magma mencapai 70
% SiO2.
Anak Krakatau saat ini
Nah, si Anak Krakatau ini agak lain – plottingnya tak mengikuti kakek dan ayahnya -mungkin datanya lebih banyak; yang jelas Anak Krakatau sejak lahirnya pada tahun 1927 sampai sekarang tak pernah mencapai komposisi magma riolitik (> 65 % SiO2). Saat letusannya pertama terjadi pada tahun 1930 ia ada di level SiO2 62 %. Tahun 1960 bahkan magmanya berdiferensiasi menjadi basaltic dari andesit, sekarang tengah andesit. Saat level SiO2-nya sudah mencapai 65 % di situlah mulai membayang letusan paroxysmal. Melihat kecenderungannya, mungkin ini akan terjadi masih jauh dari sekarang, paling tidak tak sampai 100 tahun dari sekarang.

Begitu kalau mengikuti kimia magma, tetapi Verbeek (1885) dan Judd (1888) punya teori unik tentang mengapa Krakatau 1883 meletus begitu hebat. Mereka percaya bahwa air laut yang merembes ke kantong magma telah berperan dalam hal ini. Air ini akan menaikkan tekanan. Magma naik akibat tekanan tambahan dari air ini. Magma yang naik ini akan menggerogoti akar kerucut volkanik di atasnya sampai badan kerucut gunungapi menipis seperti seperti selaput saja. Ketika selaput gunungapi ini runtuh, laut akan punya akses masuk ke kantong magma dan menyebabkan erupsi besar yang melemparkan pumis (batuapung).

Kalau kakek Krakatau benar meletus pada 416 M sesuai Pustaka Raja, dan kita tahu Krakatau 1883 meletus sama hebatnya pada 1883, maka terbentang periode selama 1467 tahun. Dalam masa itu terjadi diferensiasi magma Krakatau dari riolit-andesit-basaltik-andesit-riolit. Bila kimia magma satu-satunya kunci ke letusan paroxysmal, maka periode letusan paroxysmal Anak Krakatau mungkin akan terjadi pada 1883 + 1467 = tahun 3350. Ini tentu hitungan di atas kertas dan menyederhanakan sekali banyak hal serta menggunakan banyak asumsi yang semuanya bisa salah besar seketika.

Yang penting adalah amati terus kimia magma Anak Krakatau. Hati-hati saat ia di ujung andesitic dan mau masuk ke riolitik. Kapan itu akan terjadi kita tak tahu sebab pengetahuan kita begitu tak sempurna sementara Mother Earth punya banyak misteri.
Nah, itulah dongengan dari kawan-kawan geoscentist Indonesia mengenai letusan gunung api yang besar. Jadi saat ini yang perlu kita lakukan adalah monitor setiap gerakan-gerakan tektonik ini termasuk aktifitas gunungapinya. Kalau mau tahu aktifitas ini silahkan menengok websitenya Pusat Vulkanologi & Mitigasi Bencana Geologi – VSI

berbagai sumber


<<
Cara Membuat Struktur Organisai di Microsoft Excel


No comments:

Post a Comment